National

Eks Ketua MK Anwar Usman, Serang Balik Jimly, Mahfud, dan Saldi

(ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT)

Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, memberikan respons tegas terhadap dugaan konflik kepentingan yang mencuat setelah putusan kontroversial dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menegaskan pentingnya kesadaran etik hakim konstitusi untuk menghindari konflik kepentingan yang dapat mengurangi objektivitas keputusan.

Dalam menanggapi tuduhan tersebut, Anwar Usman memilih untuk mengungkit beberapa kasus sebelumnya di MK yang juga diwarnai isu konflik kepentingan. Ia merujuk pada sejumlah hakim, termasuk Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, dan Saldi Isra, yang terlibat dalam putusan dengan isu konflik kepentingan.

“Jadi adik-adik, rekan-rekan wartawan bisa melihat rangkaian cerita makna konflik kepentingan. Ternyata mulai dari tahun 2003 di bawah kepemimpinan Pak Jimly Asshiddiqie sudah ada, dan itu ada beberapa putusan,” ungkap Anwar.

Anwar kemudian merinci putusan-putusan yang menurutnya mengandung isu konflik kepentingan di era Jimly Asshiddiqie, termasuk Putusan Nomor 004/PUU-1/2003, Putusan 066/PUU-II/2004, dan Putusan Nomor 5/PUU- IV/2006 yang membatalkan Pengawasan KY Terhadap Hakim Konstitusi.

BACA JUGA: Respon Anwar Usman terhadap Putusan MKMK: Ini Fitnah yang Sangat Keji! 

Selanjutnya, Anwar membahas isu konflik kepentingan di masa kepemimpinan Mahfud MD dengan merujuk pada Putusan Nomor 48/PUU-IX/2011 dan Putusan Nomor 49/PUU-IX/2013.

“Iya, sejak zaman Prof Jimly mulai tahun 2003 sudah ada pengertian dan penjelasan tentang conflict of interest,” tambah Anwar.

Anwar juga menyentuh kasus Nomor 96/PUU-XVIII/2020 yang menurutnya melibatkan konflik kepentingan dengan keterlibatan langsung Saldi Isra. Kasus ini terkait penolakan perubahan pada Pasal 87b yang menetapkan usia minimal hakim konstitusi 55 tahun.

Meskipun mendapat kritik terkait putusannya dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, Anwar menyatakan bahwa ia tetap mematuhi norma dan asas kehakiman dalam menangani perkara tersebut. Ia juga menegaskan bahwa keputusannya yang memungkinkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai bakal calon wakil presiden, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan norma yang berlaku.

Dengan demikian, kasus ini terus menjadi sorotan, menciptakan ruang diskusi mengenai etika dan transparansi dalam pengadilan, khususnya terkait konflik kepentingan di Mahkamah Konstitusi. (*/)

(RRY)

×

 

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× hey MOST...